Minggu, 16 Juni 2013

kasus pembobolan BNI '46



·        L/C sebagai cara pembayaran ternyata juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana perbankan yang termasuk kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sangat merugikan bank dan Negara.
·        Kasus Posisi
            PT. Gramindo Mega Indonesia (GMI) dengan pemegang saham mayoritas (35%) dan direktur utama NY. Maria Pauline Lumowa adalah perusahaan yang tercatat sebagai nasabah giro pada BNI’46 Cabang Kebayoran Baru sejak bulan Agustus 2002. Bidang usahanya adalah komoditi eksport pasir kuarsa dan minyak residu dengan tujuan ekspor Negara-negara Timur Tengah.
            Sejak Oktober 2002 berdasarkan L/C yang diterima GMI dari sejumlah bank non koresponden Bank BNI’46  antara lain Dubai Bank Kenya Ltd, Rostbank Switzerland S.A., Middle East Bank Kenya Ltd dan The Wall Street Banking Corp Cook Island maka BNI’46 melakukan negosiasi wesel ekspor (Wesel Export Usance), artinya atas L/C yang diterima GMI tersebut BNI’46 melakukan pembayaran terlebih dahulu (mengambil alih L/C) kemudian atas dasarnegosiasi tersebut BNI’46 akan menunggu pembayaran dari bank penerbit, apabila pembayaran tersebut menjadi hak BNI’46.
            Negosiasi yang dilakukan mencapai angka Rp. 1.700.000.000.000,00 untuk 37 L/C dan dijamin dengan wesel eksport, dari nilai L/C tersebut bank penerbit tidak melakukan pembayaran (un paid). BNI’46 kemudian melakukan penagihan kepada GMI. GMI hanya membayar sebesar Rp. 400.000.000.000,00 sehingga masih ada kekurangan sebesar Rp. 1.300.000.000.000,00 yang merupakan potensial loss yang harus di tanggung BNI’46
·        Analisi kasus
            Keputusan BNI’46 melakukan negosiasi atas L/C yang diterima GMI terlalu cepat mengingat GMI nasabah baru sehingga belum diketahui secara pasti dan belum dikenal bonafiditas, kredibilitas serta kebiasaan transaksinya. Keputusan suatu bank bersedia melakukan negosiasi atas L/C yang diterima oleh nasabahnya seharusnya melalui tahapan analisis yang mendalam mengingat risiko bank atas negosiasi tersebut sanga tinggi.
            Apabila bank tidak yakin akan penerbitan L/C tersebut dan bonafiditas nasabahnya belum diketahui maka bank cukup bertindak sebagai bank penerus saja dan penagih (collect) sehingga fungsi bak ini   seperti Advising Bank (meneruskan tanpa ada tanggung jawab), apabila Bank penerbit L/C melakukan pembayaran maka bank yang menerima pembayaran akan memberitahu kepada pihak penjual. Keyakinan bank akan suatu L/C yang diterbitkan oleh bank di luar negri dapat dilakukan apabila bank penerbit L/C tersebut telah memiliki hubungan baik serta diyakini bahwa bank tersebut tidak mungkin melakukan un paid. Keterlibatan bank korespondensi ini sekaligus untuk meyakini bahwa L/C tersebut asli bukan palsu karena bank yang akan melakukan negosiasi mengetahui secara pasti test key yang dilakukan yang dibuat oleh bank korespondesninya.
            Bank korespondensi yang berada di Negara importer hal ini juga untuk menghindari ekspor fiktif, karena penerbitan L/C yang dilakukan oleh bank korespondensi pasti melalui mekanisme penerbitan L/C yang sangat prinsip yaitu permohonan dari pihak pembeli dan dipenuhinya syarat-syarat dan prosedur pembukaan L/C yang telah ditentukan oleh bank penerbit L/C. wesel eksport yang digunakan untuk menjamin pencairan L/C tersebut ternyata fiktif atau palsu.
            Pencairan L/C tersebut masuk rekening-rekening milik GMI dan serta beberapa perusahaan yang berada dalam grupnya yaitu PT. Metrantara, PT. Bhinekatama Pacific, PT. Triranu Charaka Pacific, PT. Basco Masindo, PT. Magnetique Usaha Es, PT. Feri Masterindo.
·        Isi dan proses dari L/C yang dinegosiasi BNI’46 mengandung beberapa kejanggalan yaiut:
1.      Kuantitas barang yang dikirim tidak wajar mencapai 1,5 juta metric metric ton pasir kuarsa dalam 1 kali pengapalan.  Jumlah tersebut tidak mungkin diangkut dalam sekali pengapalan, hal ini dilakukan agar nilai L/C tinggi yaitu rata-rata Rp. 35. 000.000.000,00 per L/C.
2.      Pelabuhan tujuan didalam B/L tidak disebutkan nama pelabuhan yang pasti, tetapi hanya disebutkan China Port.
3.      Syarat dokumen yag harus diserahkan tidak menyebutkan pemberian Ekspor Barang (PEB) yaitu dokumen yang di gunakan untuk mengetahui atau menjadi bukti adanya pengiriman barang.
4.      Checking document verifikasi keabsahan terhadap dokumen pengapalan atau B/L tidak dilakukan, dikemudian hari terbukti bahwa perusahaan pengapalan merupakan satu grup dengan GMI.
5.      Dokumen L/C belum lengkap sudah dilakukan pembayaran atas keputusan Customer Service tanpa diketahui oleh pimpinan cabang, termasuk perpanjangan jangka waktu L/C yang akan jatuh tempo.
·        Kesimpulan
1.      Dalam melaksanakan atau memproses permohonan negosiasi/diskonto wesel ekspor oleh suatu bank harus dilakukan secara hati-hati (prudent) dan meyakini kredibilitas serta reputasi nasabah (know your customer principles)
2.      Adanya pemisahan unit kerja dalam hal proses keputusan untuk melakukan negosiasi.
3.      Resiko atas negosiasi L/C yang diterbitkan oleh bukan bank korespondensi sangat tinggi dan tidak sebanding fee yang diterima, sehingga keputusan negosiasi ini sangat gegabah dan tidak rasional.
4.      Kewenangan yang cukup besarpada 1 unit kerja berada di suatu kantor cabang.
5.      Adanya unsure pidana dalam kasus BNI’46 yang melibatkan pihak intern BNI’46 (fraud, beberapa tersangka telah diperiksa bahkan Pengadilan Negri Jakarta Selatan telah memutuskan bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi 2 pegawai BNI’46 yaitu Edi Santoso mantan Kepala Divisi Pelayanan Luar Negri dengan hukuman penjara seumur hidup, dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 Kusandiyuwono mantan Kepala Cabang BNI’46 Kebayoran Baru hukuman penjara 16 Tahun dan denda Rp. 500.000.000,00. Saat ini pengadilan juga sedang memeriksa 5 orang terdakwah yang lain yaitu Olan Abdullah Agam dan Richard Konto semua nya direktur utama perusahaan-perusahaan yang menerima aliran dana pencairan tersebut atau yang terlibat dalam perkara pembobolan BNI’46.
6.      Tidak berjalannya fungsi internal controe secara optimal sehingga tidak dapat mencegah negosiasi untuk L/C selanjutnya, seharusnya internal control mengetahui adanya un paid L/C sehingga untuk L/C selanjutnya tidak menerima negosiasi melainkan collectiov saja. Pengawasan intern pada bank seringkali bertindak apabila ada kejadian dan umumnya kejadian tersebut setelah mencapai nilai kerugian yang besar.